“Akan kumainkan peran Romeo meski seisi dunia membenciku. Meskipun itu kamu,” — Wilo.

Lakon menjadi salah satu novel rekomendasi untuk 12 Book Read Challenge-ku tahun ini. Awalnya, aku sudah mulai membaca novel ini dari awal tahun, hanya saja ketertarikanku membaca AU membuatku terdistraksi. Alhasil, baru kali ini aku berhasil menyelesaikannya.


Setiap tahun, Departemen Seni Peran Universitas Amazhona selalu mengadakan pertunjukan teater di Hyde & Jeckyl Hall. Tahun ini, kisah yang diambil adalah kisah Romeo & Juliet. Sayangnya, di tengah-tengah persiapan, pemeran Romeo, Obil, ditemukan tewas di gedung teater. Parahnya, jenazah Obil dibalsam ekstrem hingga menyerupai boneka manekin. 


Tak ada yang bisa menebak siapa dalang dari kematian Obil. Ketegangan juga muncul di antara anggota teater karena orang yang menggantikan Obil bukanlah Remi yang berkedudukan sebagai pemeran pengganti, melainkan Wilo yang bahkan tidak mendaftar  casting. Belum pulih kekagetan para anggota teater atas tewasnya Obil, tiba-tiba satu per satu para pemain lain turut menjadi korban—mereka sama-sama tewas di gedung Hyde & Jeckyl Hall dan sama-sama dibalsam esktrem.


Inikah upaya Hyde & Jeckyl Hall menggusur para pemeran yang tak pantas tampil di panggung legendaris itu? Who Knows?


***


Aku suka ketika novel teenlit tidak sepenuhnya tentang kisah romance. Apalagi, genre utama Lakon memanglah misteri. Pembaca terus diajak menebak-nebak siapakah pelaku kejahatan di sini. Apakah memang Wilo yang berakhir menjadi pengganti Obil?—omong-omong, imbalan sebagai pemeran utama di pementasan ini sungguh luar biasa, Wajar bila posisi ini direbutkan—atau malah Nirah, sutradara film dokumenter yang pernah mendokumentasikan metode pembalsaman esktrem? 


Menurutku, sampai tengah bagian, penulis belum banyak memberikan petunjuk tentang siapa pelakunya. Ia lebih berfokus pada bagaimana kematian dari para korban lainnya masih terlihat cukup masuk akal dan tidak mengganggu jalan cerita. Jujur, aku juga kesulitan menebak siapa pelakunya. Tapi, waktu akhirnya direveal, aku langsung bisa memahami breadcrumbs yang coba ditunjukkan.


Hanya saja, kok ya bisa aku tidak menyadari kemungkinan dari si pelaku dari awal? I mean, harusnya aku langsung bisa menebak dari kedudukan orang yang akan mendapat keuntungan paling banyak apabila Obil meninggal, bukan? 


Hal lain yang kusukai dari novel ini adalah bagaimana hubungan Wilo dan Sanju bisa cukup berkembang dengan baik. Lama-lama, aku suka juga dengan bantering mereka. Oh, ya, satu hal yang kusyukuri, meskipun memang ada bibit-bibit romance antara Wilo dan Nirah, penulis enggak mencoba untuk sengaja menunjukkannya. Jadinya memang lebih natural.


Yang cukup disayangkan memang sisi misteri slash mistis dari Hyde & Jeckyl Hall yang memang enggak digali lebih jauh. Padahal, menurutku bisa saja lho, twist yang digunakan mencampurkan unsur mistis dari gedung ini. Jadi ada semacam keraguan, apakah pelaku adalah murni manusia atau ada dari kekuatan tak kasat mata—I think this concept is used a lot by Akiyoshi Rikako.


So far, aku cukup enjoy bacanya. Tidak menyesal mencoba untuk menyelesaikannya hanya dalam waktu dua hari. 

Jadi, buku ini merupakan salah satu rekomendasi untuk 12 Book Reading Challenge. Mudah-mudahan saja tahun ini aku betul-betul bisa menyelesaikan seluruh list bacaan yang sudah aku targetkan.


Isandra, atau Isa, mengalami perundungan saat SMP. Gara-garanya karena ia dianggap tak selevel oleh pentolah geng populer di sekolahnya, Lexy. Yaa, Isa berkesempatan untuk mendapatkan beasiswa di SMP Bhakti Bangsa, satu sekolah elite yang kebanyakan diisi oleh anak pejabat, artis, ataupun para keluarga old money. 


Awalnya sih, Isa biasa-biasa saja dengan kenjomplangan kehidupannya dengan anak lainnya. Akan tetapi, kala ia menjadi target dari Lexy, Isa serasa langsung berada di neraka. Dengan berbagai cara, Isa akan diejek dan dirisak sesukanya oleh Lexy dan kawan-kawannya. Sungguh bukan pengalaman yang menyenangkan selama ia bersekolah di Bhakti Bangsa. Maka dari itu, saat ia akhirnya lulus SMP dan melanjutkan sekolah di SMA negeri, Isa bertekad untuk tidak menjadi pecundang dan bisa meraih posisi sebagai anak populer di sekolahnya. Isa bisa, kan?


Rencana Isa cukup mulus. Ia mengubah penampilannya habis-habisan. Ia manfaatkan uang dari hasil ia membuka komisi untuk menggambar. Lalu, ia juga bertekad untuk masuk salah satu ekskul favorit di sekolahnya, ekskul dance. Semua terlihat lancar sampai kemudian, ternyata Lexy bersekolah di sekolah yang sama dengan Isa. Sialnya lagi, ternyata si Queen Bee itu juga masuk ke ekskul dance. Bagaimana nasib Isa? Apakah dengan kehadiran Lexy, Isa berhasil menjadi anak populer di SMA?


***


Well, honestly, novel ini mengingatkanku dengan zaman SMA. Bukan soal menjadi anak populernya, ya, tapi soal beberapa hal klasik terkait orientasi ekskul. Sumpah jadinya nostalgia banget. Aku masih ingat dulu aku juga harus mendapatkan tanda tangan dari para senior ketika akan masuk ke dalam salah satu ekskul, persis sama dengan apa yang dilakukan oleh Isa dan kawan-kawan. Aku juga masih ingat salah satu seniorku menyuruhku dan temanku untuk menyanyi di depan kelas si senior—yang anyway, setelah ku ingat lagi, it didn’t make any sense. What’s the use of it?


Selama membaca kisah Isa, di awal aku cukup gemas dengan kenaifannya. Ia jelas-jelas dipinggirkan oleh Lexy dan kawan-kawan. Tapi ia terus denial. Sebenernya enggak ada masalah ya kalau memang ingin jadi anak populer, cuma kalau anak-anak populer ini enggak menghargai kamu dan sebetulnya malah melakukan perisakan dalam bentuk lain, ya buat apa? Cukup lama buat Isa tersadar soal hal ini. Untungnya, ada kawan-kawannya di kelas yang akhirnya bisa menyadarkan Isa. Mereka adalah Olen, Tari, dan Nanda. Awalnya sih, Isa mengabaikan nasehat mereka. Tapi akhirnya, setelah suatu kejadian—yang membuat Isa learn the truth in a very hard way, Isa akhirnya sadar dan memutuskan untuk fight back.


Mungkin ada yang enggak setuju dengan penyelesaian konflik buat geng populer. Tapi mengingat di negeri yang udah kayak negeir komedi ini people in power tuh bisa di mana aja, bahkan di lingkup sekolah, kemunculan Mamanya Lexy harusnya bukan hal yang mengagetkan. Apalagi ternyata si guru pembina ekskul dance juga masih sepupu Mamanya Lexy. Enggak mengherankan at all menurutku. Yang menarik adalah, Reytia juga tetap berupaya memberikan sanksi secara sosial buat geng populer. Kayaknya ini cukup make sense with the power of social media now.


So, aku sangat mengapresiasi buku ini. Ceritanya bisa dibilang cukup ringan karena konfliknya enggak yang seberat itu. Tentu pembahasan soal perisakan ini penting karena pasti hal ini masih banyak terjadi in real life Really appreciate how Reytia bring this issue tanpa perlu menghadirkan cerita yang menyeramkan.



Finally, I’m back to reading J-lit in the healing fiction genre—though I’m not sure if that’s the right term. When I first picked up this book, I immediately noticed that it had a similar premise to We’ll Prescribe You a Cat. The difference is that The Blanket Cats refers to something like a cat rental shop, while We’ll Prescribe You a Cat is literally about a place where a doctor prescribes you a cat after examining you.


In short, this book contains seven short stories, each featuring a different cat rented out from The Blanket Cats. Throughout the stories, you’ll meet a calico, a Maine Coon, a Manx, an American Shorthair, a Mongrel, and even a Russian Blue. I was honestly delighted to learn new things while reading—like the fact that most calicos are female, and male calicos are extremely rare due to genetics. That little detail made me appreciate the uniqueness of calico cats even more.


The rules for renting a cat from The Blanket Cats are actually quite simple. Customers can only keep the cat for three days, and they’re only allowed to feed it food bought from the store. The blanket is also very important—if it gets lost, the cat might throw a tantrum and won’t be as friendly toward the customer. Most of the cats at The Blanket Cats are very clever and manage to meet the expectations of those who rent them. That’s really the charm of each cat in this collection


In my opinion, the cats in this book aren’t the typical magical creatures that suddenly bring miracles. Maybe only the Maine Coon has a hint of magical ability—though I started to doubt that, since the character could simply have been hallucinating. Who knows? As for the other cats, they don’t play that kind of role. In fact, some of them felt like they were just present without having a very significant impact on the story. That said, each customer still has a strong and unique reason for renting a cat, which makes their stories engaging in their own way. 


Out of all the stories, there are two that felt quite twisted to me: The Cat with No Tail and The Cat No One Liked. I really couldn’t guess the truth behind the characters in these ones. For The Cat with No Tail, the story is told from the perspective of what feels like an anti-hero, so my first impression of the plot completely collapsed once the truth was revealed. Meanwhile, The Cat No One Liked had a similar kind of twist, and in fact, I think it was the most surprising story for me. Sometimes people develop certain attitudes because of traumatic experiences in their past—just like the landlord and the mongrel cat he kept renting.


Another memorable story was The Cat Who Went on a Journey. In this book, the author plays with different points of view—sometimes first person, sometimes third person. The most interesting part of this chapter, though, is that it’s told from the cat’s perspective. Even though the storyline is a bit cliché, I actually think this one could be expanded further. If there were ever a continuation or spin-off in the future, I definitely wouldn’t complain—I’d happily read it.


Also, one of the reasons I picked up this book in the first place is because it’s translated by Jesse Kirkwood—one of my favorite J-lit translators. Whenever I read her translations, I feel an instant click and almost always enjoy the experience.


Overall, this book is your typical healing fiction. So yes, it might follow a formula similar to other books in the genre. But since this one revolves around cats, I completely loved it and enjoyed reading every page. I’m even starting to suspect that in Japan, many families really do keep cats—because books about them seem to be everywhere!