Rumah Ilalang
Cinta boleh jadi menjadi urusan personal, akan tetapi kematian adalah urusan sosial.

Image: Goodreads
Judul: Rumah Ilalang
Penulis: Stebby Julionatan
Penerbit: Basabasi
Tebal buku: 136 halaman
Tahun terbit: 2019
Buntelan dari penulis

Selepas kematian Tabita, Tania tampak begitu terpukul. Jenazah Tabita tak bisa dimakamkan. Ia ditolak di mana pun. Tidak di pemakaman muslim, maupun hanya untuk mendapatkan pelayanan kematian dari gereja. Kolom agama di KTP Tabita memang Islam, tapi di tahun-tahun akhir hidupnya, banyak orang yang melihat Tabita rutin mengikuti misa Minggu. Pelayanan kematian itu tak dapat diberikan karena--meski Tabita rajin mengikuti misa, tak sekalipun ia terdaftar sebagai warga jemaat. Terlebih, ia adalah seorang waria.
Usaha Tania memperjuangkan hak-hak kemanusiaan bagi sahabatnya untuk dimakamkan dengan layak, mempertemukannya pada kenyataan yang lain. Tentang latar belakang keluarganya, tentang keluarga Gosvino—pria seminarian yang mati-matian dicintai Tabita, tentang kelamnya rasa iri di antara para waria dan tentang dunia yang semakin tak manusiawi.
Semuanya seperti rumah yang dibangun dari ilalang. Rapuh. Mudah terbakar dan diterbangkan angin.

Informasi lebih lanjut dapat dibaca di:

Bagi saya, Rumah Ilalang adalah penyegar di tengah peliknya pembahasan isu SARA yang ada di Indonesia.

Kala itu, saya berkesempatan untuk mengulas buku terbaru karya Stebby Julionatan yang diterbitkan oleh Basabasi. Menilik sinopsisnya, tentu saya penasaran akan apa yang ingin diangkat oleh Stebby dalam buku dengan sampul bergambar peti mati itu.

Dia adalah Tabita. Seorang transgender yang begitu teguh memegang prinsipnya. Ketika sang ayah, Hanung Bramantyo, tak dapat menerima keadaan Tabita--yang bernama asli Alang dan diambil dari nama Ilalang, maka Tabita memutuskan untuk pergi dari rumah dan mulai menata kehidupannya dari awal. Beruntung ada Mami Nancy yang membantu Tabita untuk bertahan hidup. Dalam kehidupan yang baru tersebut itulah, Tabita perlahan mulai memahami makna kehidupan yang sebenarnya. Mulai dari orientasi seksualnya, identitas gender yang ia ilhami, agama, hingga hal sesuci cinta. 

Tentu tidak mudah bagi seorang Tabita untuk menjalani peran dalam hidupnya. Akan tetapi, yang namanya manusia, pasti pada akhirnya dapat menemui kesulitan. Itulah yang dialami Tabita. Impiannya untuk bisa hidup damai bersama dengan orang yang ia cintai menjadi angin belaka. Sekarang, tubuhnya telah terbujur kaku. Tiada lagi rasa hangat yang menguar darinya. Ia telah berpulang kepada Sang Pencipta.

Bagi Tania, Tabita adalah sahabat terbaiknya. Mendengar kabar bahwa Tabita meninggal dunia merupakan hal yang tak ia sangka. Belum kesedihan tersebut berakhir, Tania harus menghadapi kenyataan bahwa jenazah Tabita menemui masalah ketika akan dikuburkan. Tabita memang menyandang agama Islam. Hal itu jelas tertera di dalam kartu identitasnya. Akan tetapi, beberapa waktu terakhir semasa hidupnya, Tabitha rajin beribadah di gereja. Sayangnya, ia juga tak bisa dimakamkan secara Nasrani karena ia tidak terdaftar sebagai jemaat. Lalu, apa yang harus dilakukan oleh Tania?

***

Mengangkat tema yang sensitif seperti agama dan juga SOGI (Sexual orientation and gender identity) merupakan hal yang cukup jarang dilakukan oleh penulis di Indonesia. Apalagi, dengan semakin maraknya narasi-narasi "kebangsaan" dan "kaum mayoritas" yang selalu menghiasi berbagai kanal media. Rasanya memang tidak mungkin karya seperti Rumah Ilalang dapat betul-betul hadir di hadapan pembaca. Akan tetapi, nyatanya Stebby berhasil mengangkat isu tersebut dan menjadikan Rumah Ilalang sebagai pembelajaran.

Menggunakan alur flashback, Stebby mengajak pembaca untuk menyelami kehidupan Tabitha. Namun demikian, Stebby tak hanya berfokus pada sudut pandang Tabita saja. Ia juga mengambil cerita dari sudut pandang Tania, Mami Nancy, orang tua Tabita, bahkan dari sudut pandang Gosvino, pria yang dikasihi oleh Tabita.

Memang penggunaan banyak sudut pandang ini membuat cerita sulit terfokus. Akan tetapi, dengan demikian, pembaca akan lebih memahami emosi dari masing-masing tokoh. Sekilas, saya melihat profil Stebby yang dulunya juga pernah menuliskan kumpulan puisi. Tak heran apabila bahasa yang ia gunakan cukup puitis dan juga mendayu. Bukanlah suatu masalah besar karena hal tersebut malah membuat cerita ini menarik dengan sendirinya.

Meskipun tipis, saya cukup menikmati kala membaca Rumah Ilalang ini. Ceirtanya mengalir tanpa bermaksud menggurui. Saya cukup salut dengan cara Stebby mengeksekusi akhir kisah Tabita. Ada sedikit plot twist yang tidak saya tebak ketika saya membacanya.

Saya tidak tahu apakah buku ini menjadi suatu hal yang kontroversial atau tidak--bagaimanapun isu yang diangkat lumayan sensitif bagi kaum yang merasa bahwa diri mereka benar itu. Akan tetapi, untuk pembaca yang gemar mendalami isu-isu ini, saya sarankan untuk sejenak membuka lembar demi lembar kisah Tabita ini. Saya rasa, sebagai sebuah perenungan, Rumah Ilalang telah berhasil menjalankan perannya.

Kalau untuk segi penyuntingan, nampaknya telah dibahas lebih lanjut oleh peresensi lain. Ya, saya juga setuju dengan beberapa pendapat mereka. But, I believe, Stebby can do more than this. Semoga ke depannya menjadi lebih baik :)

3 bintang untuk ketabahan Tabita dan juga Tania.

Kindly note:
I've got this book directly from the author, but unfortunately, I didn't realized that my landlady has received this book from more or less one month ago. After, Mas Dion reminded me to review this book, I tried to check it in the lobby of my rent room. Then, I found this book under other's package. So, I apologize for the delay review.

Sincerely,

Puji P. Rahayu