Image: Netflix

Title: Kotaro Lives Alone
Genre: Comedy, Drama, Family
Number of episodes: 10
Release date: 24th April 2021
Stars: Eito Kawahara, Yu Yokoyama, Maika Yamamoto, Katsuhisa Namase, Daigo Nishihata, Kanako Momota
Watch on Netflix

Shin Karino is an unpopular manga artist who spends his days meaningless in his apartment. One day, he meets his new neighbor, Kotaro Sato, a 5-year-old child who will be living alone. Shin begins to take care of Kotaro and learns the importance of responsibility and care as an adult.

Actually, this dorama always appeared on my recommendations lately. Therefore, I decided to watch it out of curiosity. To be honest, I haven't read the manga yet, but the premise looks so promising and I just like a mini-series like Kotaro. Moreover, I know that one of the Naniwa Danshi's members take a role in this drama. 

Kotaro Lives Alone

At the age of five, what have you done? Kotaro is starting to live alone at that age. He literally rent an apartment room by himself and manages to live by himself. Of course, adults around them are worried and confused when they first meet Kotaro. Starting from Karino, the unpopular manga artist who first meet with Kotaro, Mizuki the next neighbour, and also Isamu, the below neighbour who looks like a gangster. 

At first, no one really knows about Kotaro. Why he should live by himself and how he can manage to do that. It's of course confusing, even for Kobayashi, a lawyer in charge to give the money every week for Kotaro. But, little by little, everyone finally gets attached to Kotaro and want to protect him at all cost. 

Well...

After all, Kotaro Lives Alone is a very heart-warming story, even though I don't know how much accurate the story is. I mean, I know that children in Japan are really independent, but to live alone like Kotaro is a little bit too much, I think. But, since I don't really know about it, I won't talk more.

I love how J-drama capture all of the character's personality. Even the supporting role got their part perfectly in this short mini-series. Then, since the duration of each episode is only 20 minutes, it's really easy to watch in one go. 

Anyway, one of the reasons I am curious about this series is because of one of Naniwa Danshi's members who take the role in it. It was Daigo Nishihata who plays Keisuke Hanawa, Kotaro's teacher in the kindergarten.  At first, I mistakenly recognize who is Daigo. Lol. But the more I watch it, Daigo is perfectly captured Keisuke's character. 

Aside of that, I know there is some character's improvement after meeting Kotaro. In a way, they found their life goals after they got interact with Kotaro, such as how Karino is really improving on his works. After all, Kotaro is really a charming boy.

Hmm, to be honest. One thing that I find a little bit disturbing is about how's Kotaro's father is abusive. I mean, I couldn't easily forgive that behaviour. It hurts Kotaro's mother that bad. Whatever the reason is, it shouldn't be end up like that. Sigh. 

Conclusion

If you wanna find a heartwarming series, Kotaro Lives Alone will be your perfect choice.

8 out of 10 stars.

Sincerely,
Ra

Image: Goodreads, edited by me


Judul: Lebih Senyap dari Bisikan
Penulis: Andina Dwifatma
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Tahun terbit: 30 Juni 2021
Tebal buku: 155 halaman
Baca di Gramedia Digital

Di akhirat nanti, kalau aku ketemu Tuhan, akan kutanyakan kenapa Dia bikin tubuh perempuan seperti makanan kaleng. Kubayangkan di bawah pusar atau pantatku ada tulisan: Best Before: Mei 2026.

Amara dan Baron dikepung pertanyaan mengapa belum punya anak. Aneka usaha untuk hamil nyatanya telah mereka lakukan, dari yang normal hingga ekstrem. Namun, persoalan tidak selesai tatkala Amara hamil dan melahirkan. Ada yang tidak ditulis di buku panduan menjadi orangtua, ada yang tidak pernah disampaikan di utas Program Hamil.

Lebih Senyap dari Bisikan merupakan novel kedua Andina Dwifatma, setelah Semusim, dan Semusim Lagi (2013)—pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta. Novel ini membuka mata pembaca dengan kisah Amara dan pahit manis kehidupan perempuan dalam menemukan apa yang berharga. 

***

Siapa bilang kalau menikah itu enak? Ketika menikah, maka seluruh keputusan yang kamu ambil tidak lagi tentang dirimu saja, tapi kamu juga harus memperhatikan kebutuhan dari pasanganmu, anak--kalau ada, dan juga keluarga lainnya. Menikah bukan hanya soal mengucap janji suci dan pasti berakhir bahagia layaknya kisah dongeng. Inilah yang sebetulnya dibahas sangat lengkap dalam Lebih Senyap dari Bisikan. 

Bagiku, novel satu ini menceritakan secara lengkap lika-liku hidup yang mungkin akan relatable dengan kehidupan sekarang.

"Karena itukah aku ingin punya anak? Agar aku bisa bilang bahwa aku sudah menjalankan peran utamaku sebagai perempuan? Agar aku bisa menggenapkan tugas tubuhku yang dirancang untuk melanjutkan kehidupan?"

Lika-liku hidup Amara

Amara dan Baron adalah pasangan milenial yang terus dikepung pertanyaan mengapa belum punya anak. Awalnya mereka bukanlah pasangan yang ingin cepat-cepat memiliki anak. Akan tetapi, pada akhirnya mereka mengalah pada tuntutan di sekitar mereka. Pada akhirnya, upaya Amara dan Baron untuk memiliki anak tidak lagi menjadi upaya yang tulus--menurutku, tapi lebih ke upaya mereka lepas dari stereotipe di sekitar mereka.

Kalau kehidupan pernikahan akan berakhir bahagia saat berhasil memiliki anak, maka itu hanyalah bualan semata. Kehidupan pernikahan akan menjadi lebih rumit setelahnya. Mulai dari permasalahan mengasuh anak, konflik dengan orang tua, hingga tentang musibah terkait finansial yang cukup kekinian sekarang ini--eits, bukan tentang pinjol, ya. Istilahnya, tokoh Amara di sini sudah jatuh tertimpa tangga, terseret arus pula. Bertubi-tubi sekali masalahnya.

Yang aku suka

Sebagai sebuah novel yang bahasannya serius, aku pikir Lebih Senyap dari Bisikan akan dibawakan secara serius juga. Nyatanya tidak. Andina Dwifatma berhasil menceritakan kisah Amara dengan luwes. Meskipun permasalahan Amara banyak sekali, tapi ceritanya begitu mengalir. Alhasil aku tidak bosan saat membacanya.

Yang menarik adalah, banyaknya masalah yang ditemui Amara dalam novel ini. Mulai dari sedikit membahas bagaimana kampus membungkam mahasiswanya yang kritis, pernikahan beda agama antara Amara dan Baron, ekspektasi untuk punya anak dari pasangan yang sudah menikah, hidup berdampingan sebagai pasangan, hingga permasalahan finansial yang sering kali menghampiri pasangan muda seperti Amara dan Baron.

Kalau boleh aku bilang, cerita ini enggak ada bahagia-bahagianya. Amara di sini bercerita sembari mengeluhkan hidupnya. Memang ada kesan bahwa ialah yang paling menderita di dunia. Akan tetapi, itulah yang menjadi charm dari novel ini. Keluhan Amara ini sangatlah relatable. Tentu aku sangat memahami kondisi Anara. 

Kesimpulan

To some extent, membaca Lebih Senyap dari Bisikan memang memperkuat pandanganku soal pernikahan, khususnya tentang memiliki anak. Aku sangat sadar kehidupan pernikahan itu akan seindah keluarga cemara. Mana ada hal demikian di dunia ini. Jadi, siapapun yang ingin lebih memahami kehidupan pernikahan, bacalah novel ini. Narasi bahwa pernikahan adalah solusi dari suatu masalah itu pada dasarnya bullshit. it can grow more problems if you are not aware of it.

Anyway, thanks to Kak Raafi yang sudah merekomendasikan novel satu ini. Menarik banget sugguh ceritanya :) 

4 dari 5 bintang,

Sincerely,
Ra

Image: Goodreads, edited by me

Title: She Who Became the Sun
Author: Shelley Parker-Chan
Series: The Radiant Emperor #1
Publisher: Tor Books
Date of published: 20th July 2021

Mulan meets The Song of Achilles in Shelley Parker-Chan's She Who Became the Sun, a bold, queer, and lyrical reimagining of the rise of the founding emperor of the Ming Dynasty from an amazing new voice in literary fantasy.

To possess the Mandate of Heaven, the female monk Zhu will do anything

“I refuse to be nothing…”

In a famine-stricken village on a dusty yellow plain, two children are given two fates. A boy, greatness. A girl, nothingness…

In 1345, China lies under harsh Mongol rule. For the starving peasants of the Central Plains, greatness is something found only in stories. When the Zhu family’s eighth-born son, Zhu Chongba, is given a fate of greatness, everyone is mystified as to how it will come to pass. The fate of nothingness received by the family’s clever and capable second daughter, on the other hand, is only as expected.

When a bandit attack orphans the two children, though, it is Zhu Chongba who succumbs to despair and dies. Desperate to escape her own fated death, the girl uses her brother's identity to enter a monastery as a young male novice. There, propelled by her burning desire to survive, Zhu learns she is capable of doing whatever it takes, no matter how callous, to stay hidden from her fate.

After her sanctuary is destroyed for supporting the rebellion against Mongol rule, Zhu takes the chance to claim another future altogether: her brother's abandoned greatness. 

***

Inhale... exhale...

To be very honest, this book won't be my favourite and I am not sure why it has become so popular? I mean... Sigh. I get it that this is historical fiction with a sort of LGBT-ish element, but I don't think the story itself is that compelling. I mean, the plot is a little bit scattered and the pace is very slow. It made me lose interest when reading it. At least, I need 1.5 months to finish it. 

Zhu and the greatness

Nobody will ever end me. I’ll be so great that no one will be able to touch me, or come near me, for fear of becoming nothing. - Zhu

Zhu decided to take her brother's identity in order to survive. At that time, there's fate that has given for her and her brother. A boy, greatness. A girl, nothingness. To be able to survive in the middle of the harsh Mongol rule, Zhu tries her best to fight her nothingness. Whatever it takes, Zhu desire greatness. The highest greatness that heaven can let her get. 

Let's see. I spend almost 1.5 months reading this book. Not gonna lie, I feel so exhausted but I push myself to finish it. Even though the premise is interesting, I think the pace of the story is very slow. Other than that, so many things that distract me from the main story. 

One thing that I recognize when reading this book is, there are so many characters here. Moreover, there will be two main stories. The first is about Zhu's struggle to claim her position in the Red Turban alliance, and the second one is about Esen and Ouyang's side story. For me, the story is confusing.

 At first, I salute Zhu's struggle. Try to survive in the monastery and become a female monk, then step by step climb to be the war commander and finally get what she wants in terms of the position. But, the thing is, the story is too long and make me exhausted. And, maybe I should agree that Zhu's character is very boring. 

What do I like about this book? The cover. Lol. Only the cover that I think is good. Maybe the character that I like would be Xu Da. I know his character isn't that much explored yet, but I can see his potential to become an attractive character. 

Then, even though the exploration of gender and sexuality is highlighted through this book... I don't find it that wholesome. So sad.

Conclusion

I am very aware that this is the first book of the series. Maybe that's the reason why the author is like dragging the story. But still... I don't think it's a good decision. I couldn't find many positive sides to this book. Maybe, at the end of the day, I should say that this book isn't my cup of tea. Will I read the next book? I don't think so.

2 out of 5 stars.

Sincerely,
Ra


Image: Imdb

Judul: The Journalist
Genre: Drama, thriller
Sutradara: Michihito Fuji
Penulis naskah: Michihiro Fuji, Isoko Mochizuki
Pemain: Ryoko Yonekura, Go Ayano, Ryusei Yokohama, Hidetaka Yoshioka, Terajima Shinobu
Jumlah episode: 6
Nonton di Netflix

Anna Matsuda, a reporter for the Toto Newspaper, is a highly regarded and well-respected journalist who uses her strong beliefs to get to the bottom and discover the truth, of every story. Confronted with political crimes and the scandals of modern Japanese society, Anna makes it her priority to expose the corruption ravaging her nation.

Setelah sebelumnya aku lebih banyak menonton drama yang lovey-dovey dan fluffy, kali ini aku coba untuk menonton drama yang cukup serius. Aku simply penasaran dengan The Journalist karena muncul di bagian rekomendasi di Netflix. 

Kalau boleh jujur, menurutku awal dari drama ini cukup promising. Membokar kasus suap yang melibatkan orang-orang di pemerintahan melalui kacamata jurnalisme. Yaa, tahulah ya kalau dunia media sekarang ini, mau di mana saja, sangat sulit untuk menjadi independen. Hello, para oligark media? Karena itu, aku cukup tertarik untuk menontonnya. 

Lalu, menurutku, ini pertama kalinya aku menonton dorama Jepang dengan sinematografi yang cukup dinamis. Sungguh. Seumur-umur nonton dorama Jepang, kebanyakan sinematorgrafinya kaku banget--atau akunya aja yang jarang nonton dorama jadinya enggak tahu? Secara visual, menurutku The Journalist ini lumayan banget untuk dinikmati.

Reporter yang Persisten: Anna Matsuda

Anna Matsuda (Ryoko Yonekura) adalah reporter di Koran Toto News. Ia dikenal sebagai reporter perempuan yang gigih dalam memburu berita. Kali ini, ia terjun dalam meliput Skandal Eishin Academy, sebuah skandal yang disebut-sebut melibatkan perdana menteri. 

Menjadi reporter dengan jiwa idealis tentu saja tidak mudah. Banyak sekali tantangannya. Mulai dari pihak pemerintah yang menganggap bahwa Matsuda adalah ancaman, hingga sikap meremehkan dari atasan Matsuda di tempat kerja. Akan tetapi, Matsuda tetap berupaya membongkar Skandal Eishin sebaik mungkin.

Sampai suatu ketika, salah seorang pegawai di kantor bagian keuangan pemerintah--kalau aku tidak salah, ya--ditemukan meninggal dunia karena bunuh diri. Hal ini otomatis juga mengingatkan Matsuda pada keadaan kakaknya yang kurang-lebih sama. Indikasi bahwa pegawai tersebut terlibat dalam Skandal Eishin, membuat Matsuda berupaya membongkar skandal tersebut sedemikian rupa. 

Di sisi lain, Shinichi Murakami (Go Ayano) adalah mantan asisten First Lady. Secara sadar, ia mengetahui dan juga terlibat dalam Skandal Eishin. Hal ini membuatnya diminta untuk berpindah pekerjaan ke CIRO, semacam bagian intel dalam Pemerintahan Jepang. Bisa dibilang, CIRO ini seperti high-level operation to organize the intelligence. Bukannya Murakami memang ingin pindah ke sini, tapi karena atasannya yang mengkehendaki.

Kasus yang sebetulnya kompleks

Kalau boleh jujur, kasus yang ingin dibongkar di The Journalist cukup kompleks. Dalam artian, karena ini kejahatan politik, seharusnya banyak intrik yang bermain. Tapi menurutku, kompleks-nya kasus ini tidak bisa menemui resolusi yang memuaskan.

Sampai dengan episode terakhir, aku merasa bahwa titik terang dari Skandal Eishin terlihat begitu samar. Bahkan, sampai sekitar 20 menit terakhir, saksi kunci dari kasusnya belum memberikan kesediaannya. Alhasil, aku merasa resolusi di dorama ini cukup kosong. Yang juga baru kusadari, tidak ada bentuk plot twist di sini. Yaa, tersangkanya dari awal sudah ketahuan. Jadi, isi 6 episode ini ya upaya membongkar kasusnya aja.

Baiklah. Aku paham kok kalau di sini penulis ingin menunjukkan soal rumitnya kejahatan politik untuk dibuktikan. Bagaimana media bisa dibeli dan para buzzer bisa dengan mudah memutar-balikkan fakta. Sayangnya, menurutku belum ada unsur surprise. Jadinya, dorama ini terasa datar.

Mungkin, cara kerja Matsuda lah yang bisa jadi sedikit penyelamat di sini. Dalam artian, kisah Matsuda bisa memberikan gambaran soal kehidupan reporter politik. 

Oh iya, satu lagi. Dalam dorama ini, kita juga akan menemukan kisah Ryo (Ryusei Yokohama) dan kawannya, Mayu. Di sini, kita bisa mendapatkan perspektif dari anak muda dalam melihat dunia politik. Upaya mereka dalam mencari pekerjaan dan juga meraih mimpi menjadi salah satu fokus. Meskipun Ryo di sini punya keterikatan dengan Kazuya Suzuki, pegawai yang bunuh diri dan jadi fokus utama Skandal Eishin, aku merasa kehidupan dirinya agak terpisah dari jalan cerita utama. Jadi semakin terasa kisahnya hanya sebagai filler.

Kesimpulan

Jujur, aku melihat The Journalist punya potensi. Aku juga baru tahu kalau dorama ini merupakan versi panjang dari filmnya yang berjudul sama. Akan tetapi, aku tidak merasakan excitement saat menontonnya. Entah kenapa aku kurang puas ketika resolusi yang disampaikan... yaudah gitu aja. Tidak ada twist yang cukup berarti pula. Sigh. 

Mudah-mudahan lain kali aku bisa menemukan dorama yang lebih sesuai seleraku nanti.

6 out of 10 stars.

Sincerely,
Ra