The Wrath and the Dawn
Seratus kehidupan untuk satu nyawa yang kau ambil. Satu kehidupan untuk satu fajar. Jika kau gagal satu kali saja, akan kurampas mimpi-mimpimu. Akan kurampas kotamu.
Dan akan kurampas kehidupan-kehidupan ini, seribu kali lipat.

oleh Renee Ahdieh


3.5 dari 5 bintang

Sumber gambar: Goodreads
Judul: The Wrath and the Dawn
Seri: The Wrath and the Dawn #1
Penulis: Renee Ahdieh
Genre: Fantasi, Young Adult
Penerjemah: Mustika
Penyunting: Katrine Gabby Kusuma
Penata Letak dan Perancang Sampul: Deborah Amadis Mawa
Tebal buku: viii+447 halaman
Penerbit: POP,  imprint dari Penerbit KPG
Tahun Terbit: 2016
ISBN: 978-602-6208-74-3

Terinspirasi dari Kisah 1001 Malam

Khalid Ibnu al-Rashid, Khalif Khorasan yang berusia delapan belas tahun, adalah seorang monster. Dia menikahi perempuan muda setiap malam dan menjerat pengantin barunya dengan tali sutra saat fajar tiba. Ketika sahabatnya menjadi korban kezaliman Khalid, Shahrzad al-Khayzuran bersumpah akan menuntut balas. Gadis enam belas tahun itu mengajukan diri menjadi pengantin Sang Khalif. Shahrzad tak hanya bertekad untuk bertahan hidup, tetapi juga bersumpah akan mengakhiri rezim kejam sang raja bocah.

Malam demi malam, Shahrzad memperdaya Khalid, menceritakan kisah-kisah memikat yang membuatnya terus bertahan, meski tiap fajar bisa jadi merupakan saat terakhirnya melihat matahari terbit. Tetapi sesuatu yang tak terduga mulai terkuak: ternyata Khalid bukanlah sosok yang Shahrzad bayangkan. Sikapnya sama sekali tidak mencerminkan seorang pembunuh berdarah dingin. Mata emasnya memancarkan kehangatan. Monster yang ingin dilawan Shahrzad itu tak lebih daripada pemuda dengan jiwa yang tersiksa. Dan Shahrzad mulai jatuh hati kepadanya….

Info lebih lanjut dapat dibaca di:

Terkadang, suatu perbuatan yang begitu hina dan kejam, memiliki pembenaran di baliknya. Mungkin, memang perbuatan tersebut tidak akan pernah dimaafkan. Akan tetapi, di satu sisi, mungkin ada yang memahami mengapa perbuatan tersebut harus dilakukan. Penjelasan paling masuk akal adalah, melakukan perbuatan yang menyakitkan untuk kemudian mencegah satu hal yang lebih buruk terjadi ke lebih banyak orang. Tidak masuk akal? Oh, c'mon! Pada dasarnya hal-hal seperti ini mungkin saja terjadi.

Aku akan hidup untuk menyaksikan matahari terbenam esok. Jangan buat kesalahan. Aku bersumpah akan hidup untuk menyaksikan sebanyak mungkin matahari terbenam.Dan aku akan membunuhmu.Dengan kedua tanganku.

Raja Bocah dan Istrinya
Khalid Ibnu Al-Rashid, adalah Khalif Khorasan yang dapat dikatakan merupakan seorang monster. Tiap hari, ia menikahi gadis yang berbeda untuk keudian, gadis tersebut harus dijerat menggunakan tali sutra saat fajar. Tidak ada yang pernah mengetahui alasan sebenarnya dari tindakan Sang Khalif. Seluruh rakyat di Rey tidak pernah tahu mengapa anak mereka harus menjadi korban dari kekejaman yang dilakukan. 

"Semua hidup kita akan hilang, Sayyidi. Masalahnya adalah kapan. Dan aku hanya menginginkan satu hari lagi." Shahrzad, hlm. 44.

Shahrzad al-Khayzuran merupakan gadis yang menawarkan diri untuk menjadi istri Khalid. Niat awalnya adalah untuk membalas dendam atas kematian sahabatnya, Shiva. Keputusan Shahrzad bukanlah keputusan yang mudah. Ayahnya, Jahandar, sangat tidak rela apabila Shahrzad menjadi istri dari Sang Khalif. Namun, apa mau dikata. Shahrzad adalah seorang perempuan yang keras kepala. Ia bersumpah dan bertekad untuk membalaskan dendam Shiva.

"Katakan kepadaku mengapa kau di sini.""Berjanjilah kau tak akan membunuhku.""Aku tidak bisa melakukan itu.""Kalau begitu tak ada lagi yang bisa kukatakan." Khalid dan Shahrzad, hlm. 80.

Keputusan Shahrzad juga didengar oleh cinta pertama Shahrzad, Tariq Imran al-Ziyad. Mendengar hal tersebut, Tariq bertekad untuk membebaskan Shahrzad. Apapun yang terjadi. Satu-satunya cara yang menurut Tariq berhasil adalah, dengan menggulingkan kekuasaan Khalid. 

Kehidupan Shahrzad yang awalnya tervonis satu malam, berhasil terselamatkan karena kisah-kisah yang diceritakan Shahrzad kepada Sang Khalif. Tanpa sadar, kisah-kisah tersebut pun mulai membuat Shahrzad mendalami siapa Khalid. Meskipun pada akhirnya, banyak sekali rahasia yang disimpan oleh Khalid. Hingga akhirnya, kebenaran dan rahasian pun terungkap. Rahasia yang pada akhirnya membuat Shahrzad mengerti, beban berat yang harus dipikul oleh Khalid. Beban yang melibatkan seluruh rakyat Rey.

"Lakukanlah dengan lebih baik, Shazi. Permaisuriku tak punya keterbatasan. Tak ada batas dalam segala tindakannya. Tunjukkanlah kepada mereka." Khalid, hlm. 222.

Tidak Sekadar Fantasi
Baiklah. Kalau boleh jujur, membaca novel ini merupakan bentuk perwujudan rekomendasi dari yang meminjamkan aku novelnya. *makasih, Uji :D. Iyaah, sayah kemarin malakin novel ke Uji dan Uji ngasih saya duologi ini. Kalau soal penasaran, aku penasaran sih dengan novel ini. Bagaimanapun, nove ini seliweran di timeline aku di tahun kemarin. Bumbu-bumbu kisah seribu satu malam membuatku penasaran pada akhirnya. Tapi, bukan berarti aku punya ekspektasi sepenuhnya terhadap novel ini. Maksudku, yaa, aku nggak mengharapkan fantasi yang banget-banget. Dan ternyata benar. Kisah roman-nya lebih banyak disinggung di sini.

Sumber gambar: Wallco, disunting oleh Puji.
Menurtku, Renee Ahdieh di buku pertama ini lebih menjelaskan bagaimana perkembangan dari hubungan Khalid dan Shahrzad--Ya Tuhan! Ini namanya susah banget untuk dihafal :( Jadi, keseluruhan unsur fantasi dalam kisah ini masih belum terlalu kelihatan. Eh, tapi, bukan berarti aku protes, ya. Bagaimanapun, aku memang pecinta roman. 

Hem, tapi munkin, untuk pembaca yang mengharapkan novel ini penuh dengan buliran-buliran fantasi, jangan terlalu berharap. Heuheu. *ehh, aku nggak bermaksud mendemotivasi kalian untuk membaca novel ini, ya. Karena, menurutku, nggak fantasi-fantasi banget, ah. Roman-nya yang kuat di buku pertama ini. Kalau yang kedua sih, aku belum tahu.

Alurnya yang ...  Mengalir
Selama aku membaca The Wrath and the Dawn, aku merasa kalau alurnya cepat. Ehm, maksudku, tiba-tiba saja sudah dua minggu berlalu. Tiba-tiba saja sudah beberapa hari. Perubahan yang terjadi terlihat tidak terlalu terasa dan penjelasan detail dari suatu kejadian terkadang terlalu detail. Haha. Jadi, aku merasa aneh saja saat membacanya. Jadi berasa ada yang loncat-loncat. Ohh, ya. Meskipun memakai sudut pandang orang ketiga, fokus dari Renee Ahdieh adalah sudut pandang Shahrzad. Jarang sekali Renee menggambarkan dari sudut pandang Khalid. Padahal kan aku kepo juga sama Khalid. Meskipun aku nggak terlalu tertarik juga sama tokoh ini. *digampar.

Selain Khalid, Shahrzad, dan juga Tariq, ada pula tokoh lain seperti Despina--dayang Shahrzad--dan juga Jalal--sepupu Khalid. Aku yakin, di buku kedua pasti kisah dua orang ini akan muncul. Hoho. Oh, iya. Harus kuakui pula kalau kisah di buku pertama ini berakhir menggantung. *Untung Uji minjemin langsung dua buku. Jadi, aku nggak bakal kepo kelanjutannya. 

Kesimpulan
Menurutku, novel ini pas kok untuk dibaca oleh pembaca fantasi  yang menyukai cerita yang ringan. Mungkin akan sedikit membuat penasaran mengenai rahasia yang disimpan oleh Khalid. Hoho. Lalu, sebagai pecinta roman, kalian akan dimanjakan oleh hubungan Khalid-Shahrzad yang pada akhirnya akan membuat kalian trenyuh.

So, three point five stars for The Wrath and the Dawn.

Sincerely,
Puji P. Rahayu

Catatan tipografi:
"...Kedua, Khalid tak boleh tahu kalau aku ikut andil dalam dalam pelanggaran ini." --hlm. 59.
"...Dia pergi saat masih gelap."Tariq memasang anak panah... --hlm. 137.
"Karena kau berbagi ranjang dengan Khalif Khoasan." --hlm. 206.
"...Jadi aku mengatkannya dengan benda, bukan orang." --hlm. 254.
Shamsir-nya terjatuh ke lantai pualam dengan buyi tajam. --hlm, 350.
"...tetapi Anda tidak mengeti." --hlm, 380.
"Kebecian. Prasangka. Ganjara. ..." --hlm. 401.
...saat orang-orang yang ketakutan mulai menjeri dan melarikan diri...--hlm. 422.
"Bawa aku padanya."Tanpa menunggu jawaban, --hlm. 438.

Ps. Tidak semuanya tercatat ya. Puji kan lieur juga nyatetnya. Hehe.

Imaji Terindah
Apakah kemudian seorang laki-laki tidak boleh menangis?

oleh Sitta Karina

3.5 dari 5 bintang

Sumber gambar: Goodreads.
Judul: Imaji Terindah
Genre: Roman
Penulis: Sitta Karina
Seri: Hanafiah #1.5
Penyunting: Siti Nur Andini
Penata Letak: Rizal Rabas
Desainer Sampul: Sitta Karina
Foto Sampul Muka: Andra Alodita
Tahun Terbit: Desember 2016, Cetakan 1
Penerbit: Literati, imprint dari Penerbit Lentera Hati
Tebal Buku:290 halaman
ISBN: 978-602-8740-60-9
Buntelan dari  penulis, Sitta Karina.


“Jangan jatuh cinta kalau nggak berani sakit hati.”
Tertantang ucapan putra rekan bisnis keluarganya pada sebuah jamuan makan malam, Chris Hanafiah memulai permainan untuk memastikan dirinya tidak seperti yang pemuda itu katakan.
Dan Kianti Srihadi—Aki—adalah sosok ceria yang tepat untuk proyek kecilnya ini.
Saat Chris yakin semua akan berjalan sesuai rencana, kejutan demi kejutan, termasuk rahasia Aki, menyapanya. Membuat hari-hari Chris tak lagi sama hingga menghadapkannya pada sesuatu yang paling tidak ia antisipasi selama ini, yakni perasaannya sendiri.


Informasi lebih lanjut dapat dibaca di:

Suatu ketika, seorang teman pernah bertanya padaku, "Puj, menurutmu, apakah seorang cowok itu nggak boleh baper?". Belum sempat aku menjawab pertanyaan itu, temanku yang lain langsung menyambar, "Kalau Puji sih anaknya HAM banget. Jadi, pasti menurut dia nggak apa-apa kalau cowok baper." Aku tersenyum singkat kala itu. Ya, memang. Aku adalah orang yang berusaha sebisa mungkin menghargai perasaan orang lain. Kalau ada yang mengatakan bahwa seorang laki-laki tidak boleh terbawa perasaan dan mudah emosi. Padahal, menurutku itu adalah sifat alamiah manusia, regarding seseorang itu perempuan maupun laki-laki. Setidaknya, dalam Imaji Terindah, ada satu poin mengenai hal ini yang disinggung. Intinya adalah, seorang laki-laki pun, berhak untuk menangis. Bagaimanapun, itu bukanlah suatu kelemahan yang dimiliki oleh laki-laki tersebut. Akan tetapi, itu adalah satu-satunya cara saat seseorang tidak sanggup lagi menerima kenyataan dalam hidup.

Sekilas Kisah
Bagi Christopher Hanafiah, cinta bukanlah satu hal yang ada di pikirannya selama ini. Mengambil prinsip hidup sepupunya, Reno Hanafiah, Chris menjadi seorang womanizer--atau setidaknya berkeinganan demikian. Suatu ketika, rumah Chris kedatangan tamu dari Jepang, yakni Keluarga Kaminari. Terlahir di keluarga yang kaya raya seperti Hanafiah tidak membuat Chris dapat menikmati keseluruhan tetek-bengek jamuan makan bersama rekan bisnis keluarganya. Terlihat jelas kebosanan Chris dalam jamuan makan bersama Keluarga Kaminari. Sampai pada akhirnya, Kei Kaminari menyentil Chris dengan cukup kuat. Semua ini berawal dari ucapan Kei, "Jangan jatuh cinta kalau nggak berani sakit hati." 
"Kita masih muda; banyak hal--dan kejutan--bisa terjadi.""Kejutan nggak selalu menyenangkan.""Tergantung bagaimana kita meresponsnya." -- Chris dan Aki, hlm. 54.
"Sayangnya, tidak demikian bagi kamu. Entah kenapa... kamu menjauh. Kamu ngobrol sama Alde dan lainnya, tapi selalu menghindari aku. Pacar bisa kayak gitu. Tapi, kita sahabat. Dan sahabat selalu bicara dari hati ke hati, bukan kabur melulu, apalagi pas ada masalah." -- Aki, hlm. 124. 
Sebagai seseorang yang tidak pernah memikirkan cinta, Chris pun mencari target untuk memulai permainan dan memastikan dirinya tidak seperti yang Kei katakan. Target tersebut akhirnya jatuh pada Kianti Srihadi atau yang biasa dipanggil Aki--seorang murid baru pindahan dari Jepang. Aki adalah sosok ceria yang aktif dalam cheers. Sejak pertama, Chris sudah tertarik pada Aki. Akan tetapi, setelah berbagai kejadian yang menimpa keduanya, Chris menyadari bahwa ada yang tidak beres dengan perasaannya. Lama-lama, ia menyadari bahwa ia tidak akan sanggup kalau sampai kehilangan Aki. 

Aku dan Hanafiah
Kalau boleh aku jujur, ini adalah pertama kalinya aku membaca seri Keluarga Hanafiah. Harus kuakui bahwa, seri Keluarga Hanafiah ini sepertinya dapat menjadi sei favoritku. Eugh, bagaimanapun roman menye-menye seperti ini akan tetap menjadi favoritku. Aku jatuh cinta dengan cara Sitta Karina menceritakan Hanafiah. Penggambaran mengenai kekayaan mereka menurutku tidak terlalu tersebar kemana-mana. Meskipun, merek-merek branded masih banyak disebut. But, it's okay. Aku masih mampu menikmatinya.

Oh ya, sepertinya aku harus meminta maaf dulu pada Kak Sitta. Mengapa? Karena, aku baru bisa membaca dan meresensi Imaji Terindah sekarang. Seharusnya, Imaji Terindah sudah bisa kubaca sejak Februari lalu. Akan tetapi, karena adanya suatu kesalahpahaman, akhirnya novel ini tertahan di Malang, sedangkan aku ada di Depok :o Yaa, but I assume that, it's totally my fault. 

Tampilan yang Cantik
Dari penampilannya sendiri, aku suka konsep sampulnya. Sederhana dan juga, apa ya? Collect-able? Iya, sort of kayak gitu. Menurutku, sampul dari Imaji Terindah ini begitu cantik dan menyenangkan untuk dilihat. Tidak terlalu ramai tapi eye-catching. Akan tetapi, ada satu hal yang cukup kusayangkan. Entah mengapa, aku merasa margin yang digunakan terlalu lebar. Sehingga, novel ini terasa cepat habis untuk dibaca. Meskipun demikian, secara pilihan font aku suka. 


Opini Pribadi
Ahh, rasanya sudah lama sekali aku tidak membaca novel roman Indonesia. Entahlah. Akhir-akhir ini aku kebanyakan membca novel terjemahan maupun Inggris. Mungkin aku sedang tidak berminat saja waktu kemarin. Nah, akhirnya, sampailah aku untuk membaca Imaji Terindah. Bagiku, Imaji Terindah adalah kisah unyu-unyu yang menyenangkan. Awalnya, aku tidak menyangka kalau Imaji Terindah lebih ke Young Adult. Kupikir, tema yang dibawa adalah mengenai pekerja kantoran, layaknya novel-novel roman sejenis. Tapi, bukan berarti aku protes ya mengenai ini. Toh, aku masih menikmati keseluruhan cerita.
"Terima kasih, ya, Chris. Kamu benar-benar nggak pergi. Kamu bahkan tetap bercanda dan semangat, menginspirasi aku untuk melakukan yang sama. Secara nggak langsung, kamu kayak ngingetin aku, bahwa hidup itu dibawa gampang, tapi jangan ngegampangin hidup. You know, I like that!" -- Aki, hlm. 130.
 "Kalo elo punya niat baik dan ingin melakukan sesuatu yang baik, lakukan. Nggak perlu umbar dengan kata-kata. Perbuatan sudah cukup jadi bukti yang jelas," -- Niki, hlm. 142.
Namun demikian, bukan berarti aku tidak merasa ada yang aneh dalam cerita ini. Aku merasa, proses kedekatan antara Chris dan Akit terlalu cepat. Entahlah. Aku merasa kedua orang ini terlalu cepat percaya dan luluh. Lalu, aku baru tahu kalau dalam seri Hanafiah, akan ada orang-orang yang punya kemampuan tertentu. Jujur saja, itu sedikit membuatku merasa aneh. Well, sedikit ya. Lagi-lagi, bukannya aku protes.

Oh ya, selain Imaji Terindah, dalam novel ini terdapat dua cerita pendek lagi, yakni Sakura Emas dan juga Air Mata Pedang. Berhubung aku belum membaca seri Hanafiah, aku tidak tahu kedua cerita ini pada akhirnya akan mengarah kemana. Akan tetapi, di satu sisi, cerita pendek ini berhasil membangkitkan kekepoanku terhadap seri Hanafiah.
"People are always curious about other people's business. Especially about Prince Christopher's."-- Aki, hlm. 157.
"Friends... don't kiss."
"Who said we're just friends? Kita lebih dari itu, Ki." -- Aki dan Chris, hlm. 193.
Selain itu, mungkin banyak yang akan protes terhadap akhir dari kisah Chris dan Aki. Aku pun, mungkin demikian. Meskipun aku tidak sampai sakit hati karena akhirnya begitu, aku cukup tergugah untuk mbrebes mili. Rasanya seperti tidak rela akhir kisah manis Chris dan Aki harus seperti itu.
"Apa, sih, yang ingin elo kasih liat ke Kianti? You can't protect her forever, Chris. Orang pesakitan kayak dia--she doesn't even have forever!"
"She is my forever!" -- Laila dan Chris, hlm. 196.
 "Orang yang tidak menyerah terhadap persahabatan yang sudah porak-poranda, apalagi namanya kalau bukan pahlawan terhadap persahabatan itu sendiri?" -- Aki, hlm. 241-242.
Kesimpulan
Sebagai pecinta roman, aku akan merekomendasikan novel ini sebagai pilihan untuk mengisi waktu luang. Mungkin akan terasa seperti cerita cinta remaja yang menye-menye. Akan tetapi, aku melihat ada sisi lain yang dicoba ditunjukan oleh Sitta Karina. Pada intinya, novel ini masih worth it to read, kok.
"Build a friendship before marrying someone. Then, marry your best friend." -- Chris, hlm. 246-247.
3.5 bintang untuk Chris dan Aki.

Sincerely,
Puji P. Rahayu
Simon vs. the Homo Sapiens Agenda
Memangnya, siapa yang menentukan apa itu normal dan tidak?

oleh Becky Albertalli


3 dari 5 bintang

Sumber gambar: Goodreads
Simon vs. the Homo Sapiens Agenda
Genre: Young Adult
Penulis: Becky Albertalli
Penerjemah: Brigida Ruri
Penyunting: Selsa Chintya
Proofreader: Seplia
Desain Sampul: Marla Putri
Penerbit: Penerbit Spring
Tahun Terbit: Desember 2016
Tebal Buku: 324 halaman
ISBN: 978-602-60443-0-3
Gara-gara lupa me-logout akun E-mailnya, Simon tiba-tiba mendapatkan sebuah ancaman. Dia harus membantu Martin, si badut kelas, mendekati sahabatnya, Abby. Jika tidak, fakta bahwa dia gay akan menjadi urusan seluruh sekolah.

Parahnya lagi, identitas Blue, teman yang dia kenal via E-mail akan menjadi taruhannya.
Tiba-tiba saja, kehidupan SMA Simon yang berpusat pada sahabat-sahabat dan keluarganya menjadi kacau balau.

Informasi lebih lanjut dapat dibaca di:

Tidak ada hal yang lebih sulit untuk dilakukan daripada saat kamu dianggap berbeda dan "tidak normal". Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah, siapa yang mendefinisikan apa itu normal dan tidak? Pada akhirnya, hal-hal seperti inilah yang membuat seorang gay tidak memiliki keberanian untuk coming out. Mengapa? Mereka takut tidak dapat diperlakukan sama dengan yang lain hanya karena memiliki identitas gender yang dianggap "tidak biasa". Padahal, sejauh pemahamanku, seseorang seharusnya bisa mendapatkan haknya. Tidak peduli ia adalah seorang hetero, gay, lesbian, atau lainnya. Toh, pada akhirnya mereka adalah manusia. Manusia yang sama-sama punya hak untuk memperjuangkan hidupnya.

***

Simon Spier. Seorang pelajar di Shady Creek. Mungkin kalian akan melihatnya sebagai seorang pemuda yang biasa-biasa saja. Dia sering menghabiskan waktunya bermain dengan ketiga sahabatnya, Abby, Leah, dan Nick. Selain itu, dia juga aktif di kelas drama bersama Abby. Hidup Simon biasa-biasa saja. Terlahir sebagai anak tengah dari keluarga yang unik, membuat Simon memiliki kepribadian yang cukup bijaksana--meskipun tidak dapat dikatakan sepenuhnya demikian. Akan tetapi, di balik sikap Simon yang biasa itu, ia menyimpan rahasianya sendiri. Ya, Simon adalah seorang gay. Dan semenjak beberapa bulan yang lalu, ia menjalin korespondensi melalui surel dengan seseorang bernama, Blue. Bagi Simon, Blue telah menjadi sosok yang begitu menarik. Berbagai cerita saling mereka bagikan, dan tentunya, Simon merasa kalau ia mulai menyukai Blue.
Tapi aku capek mencoba terbuka. Semua yang sudah kulakukan adalah menjadi terbuka. Aku mencoba tidak berubah, tapi aku terus berubah, di setiap langkah kecilku. -- Simon, hlm. 62.
Siapa Blue? Simon sendiri pun tidak mengetahuinya. Alamat surel yang didapat oleh Simon pun berasal dari situs Tumblr yang menjadi sumber gosip di Shady Creek. Awalnya, Simon merasa bahwa surel yang ia kirim tidak akan pernah terbalas, nyatanya setelah lama menunggu, Blue membalas dan akhirnya terjalinlah korespondensi tersebut. Yang menjadi permasalahan kemudian adalah, saat Simon dengan teledornya lupa me-log-out akun surelnya di komputer sekolah. Alhasil. Martin Addison, seseorang yang sering kali dijuluki sebagai badut sekolah, mengambil screenshoot dari percakapan surel antara Simon dan Blue. Sejak saat itu, kehidupan Simon menjadi tidak sama lagi.
Mungkin dia adalah pemerasku. Mungkin dia juga mulai menjadi temanku. Siapa yang tahu kalau yang seperti itu bisa terjadi.--Simon, hlm. 131.
The quote

Well
, secara tegas aku harus bilang bahwa aku samasekali tidak resisten dengan tema yang diambil oleh Becky Albertalli. Bahkan, menurutku, seharusnya buku-buku dengan tema sejenis lebih diperbanyak lagi. But I know, sentimen di negara ini kan cukup kuat. Mungkin, kalau tidak ada label dewasa yang disematkan di sampul belakangnya, buku ini akan dilarang untuk diedarkan. Yeah, you know, those fanatic-religious-groups would be very angry because of this.

So, aku sangat mengapresiasi Penerbit Spring yang mau dan berhasil menerbitkan buku dengan tema berpayungkan LGBT. Mungkin kalian bertanya mengapa aku seperti biasa saja membahas mengenai identitas gender seperti ini. Hem, jujur saja, aku sudah menemui orang-orang dengan identitas gender tersebut di dunia nyata. Aku juga tahu bagaimana kesulitan-kesulitan yang terkadang mendera mereka. Akhirnya, aku pun tidak resisten terhadap mereka. 
Sudah pasti menyebalkan karena heteroseks adalah apa yang dianggap default. Dan juga karena hanya orang-orang yang meragukan identitas mereka--yang tidak cocok dengan identitas standar--saja yang harus memikirkan hal itu.--Blue, hlm. 158.
Baiklah. Mari kita masuk ke pembahasan mengenai Simon. Ahh, harus kuakui, "oknum" yang meminjamiku buku ini pun belum membacanya. Jadi, aku tidak tahu mengapa aku berminat membacanya. Mungkin dari sampulnya? Bisa jadi. Menurutku, sampul dari Simon vs. the Homo Sapiens Agenda ini cukup berwarna dan enak dipandang. Aku suka konsepnya. 

Kemudian, aku juga suka cara bercerita Becky. Ia menggunakan sudut pandang pertama. Sehingga, aku bisa memahami keseluruhan perasaan Simon. Bagaimana galaunya masa remaja, hingga kebimbangan Simon untuk coming out. Sayangnya, aku merasa bosan saat membaca buku ini. Entahlah. Ataukah mungkin karena aku lama tidak membaca buku terjemahan? Aku juga tidak tahu. Yang pasti, aku merasa alur dari buku ini cukup lambat. Satu-satunya hal yang membuatku tetap membaca buku ini adalah identitas Blue yang sebenarnya. Ya. Aku penasaran dengan siapa Blue. Aku sudah memperkirakan kalau akan ada plot twist yang disajikan. Menurutku, upaya Becky untuk itu cukup berhasil.

Bagiku, membaca buku seperti Simon ini membuatku lebih memahami mengenai identitas gender lebih jauh. Aku bisa lebih mengerti mengapa seseorang yang merasa tidak normal, hidupnya menjadi tidak mudah. Ahh, padahal, apa yang dimaksud dengan normal hanyalah konstruksi yang dibangun oleh masyarakat. Oh, aku yakin pasti akan ada orang-orang yang memprotes keseluruhan pendapatku. Yaa, nggak masalah sebenarnya. Toh, pada akhirnya, seseorang punya pemikirannya masing-masing dan juga pembenaran dari pemikirannya tersebut.

Pada intinya, buku ini cukup menarik untuk dibaca.  Akan tetapi, kalau kalian adalah orang-orang bersumbu pendek dan suka menghakimi dari awal, please, go away! Don't try to read this book! 

Pst. Ternyata buku ini akan difilmkan loh. Hem, aku harus berpikir seribu kali sepertinya untuk menonton filmnya. Melihat kebosananku membaca buku ini, agak nggak yakin juga untuk menontonnya. But, we'll see.

Sincerely,

Puji P. Rahayu
An Ember in the Ashes
People could change!

oleh Sabaa Tahir

4 dari 5 bintang
Sumber gambar: Goodreads
Judul: An Amber in the Ashes
Penulis: Sabaa Tahir
Penerjemah: Yudith Listiandri
Pemeriksa Bahasa: Mery Riansyah
Proofreader: Titish A.K.
Design Cover: Aufa Aqil Ghani
Penerbit: Penerbit Spring
Tahun terbit: November 2016
Tebal buku: 520 halaman
ISBN: 978-602-74322-8-4
Pinjam di Perpustakaan Pusat, Universitas Indonesia.
Laia seorang budak. Elias seorang prajurit. Keduanya bukan orang merdeka.
Saat kakak laki-laki Laia ditahan dengan tuduhan pemberontakan, Laia harus mengambil keputusan. Dia rela menjadi mata-mata Komandan Blackcliff, kepala sekolah militer terbaik di Imperium, demi mendapatkan bantuan untuk membebaskan kakaknya. Di sana, dia bertemu dengan seorang prajurit elit bernama Elias. 
Elias membenci militer dan ibunya, Sang Komandan yang brutal. Pemuda ini berencana untuk melarikan diri dari Blackcliff, menanggung risiko dicambuk sampai mati jika ketahuan. Dia hanya ingin bebas.  
Elias dan Laia. Keduanya akan segera menyadari bahwa nasib mereka akan saling silang, dan keputusan-keputusan mereka akan menentukan nasib Imperium, dan bangsa mereka. 

***

Aku selalu percaya bahwa lingkungan akan selalu mempengaruhi keadaan diri seseorang. Mungkin, ini adalah salah satu bentuk penerapan dari komunitarianisme. Akan tetapi, bukan berarti seseorang tidak memiliki keyakinan dari dirinya sendiri. Kalau aku ingat lagi, ada satu kalimat yang diucapkan oleh--oke, aku lupa siapa--entah St. Augustine atau Thomas Hobbes--man is evil. Aku sih pada dasarnya tidak setuju juga dengan pernyataan ini. Bagiku, karakter dari seseorang akan terbentuk kembali oleh lingkungannya--dan juga pandangan hidupnya. Sehingga, seseorang seperti Elias yang ditempa sedemikian rupa dalam lingkungan yang begitu keras, dapat menjadi resisten terhadap 'apa yang seharusnya ia lakukan'.

Cerita ini bermula dari penyerbuan rumah Laia dan keluarganya. Bagi Laia, apapun yang terjadi, ia harus bisa menyelamatkan kakaknya--Darin--yang ditangkap oleh Mask--prajurit andalan Imperium. Untuk itu, Laia mencoba untuk mencari kawanan Resistence yang sedari dulu menginginkan pemberontakan atas Imperium. Entah dengan keajaiba apa, akhirnya Laia bertemu dengan kelompok Resistence. Satu-satunya cara yang harus dilakukan oleh Laia untuk menyelematkan Darin adalah, dengan menjadi mata-mata Resistence. Maka dari itu, Laia pasrah saat ia harus menjadi budak bagi Komandan Blackliff yang kejam dan tidak berperasaan--Keris Veturia.

Di lain sisi, ada Elias Veturia yang begitu dikagumi di seluruh Blackliff. Ia memiliki kecerdikan serta ketangkasan terbaik di antara murid-murid Blackliff. Statusnya sebagai anak komandan Blackliff, membuat Elias harus sebisa mungkin bersikap layaknya murid Blackliff. Meskipun, pada nyatanya, Elias sama sekali tidak ingin menjadi seperti 'mereka'. Dengan demikian, Elias merencanakan untuk kabur dari Blackliff di hari kelulusannya. Sayangnya, takdir tidak memberikan kehidupan yang mudah bagi Elias. Aughur telah menggariskan takdir Elias dan ketiga murid terbaik Blackliff lainnya.

Sumber gambar: google, disunting oleh saya.
Berawal dari sebuah rekomendasi dari teman, aku pun tertarik untuk membaca novel ini. Ditambah faktor buku ini nyempil di perpustakaan, aku pun langsung mengambil buku ini. Ekspektasi? Aku memang punya ekspektasi tersendiri untuk novel ini. Meskipun, aku agak sedih juga karena merasakan hal-hal yang agak membosankan di awal. Entah mengapa. Akan tetapi, dua sudut pandang yang digunakan, bergantian antara Elias dan Laia, membuatku masih betah untuk membacanya.

Sesungguhnya, aku kasihan sekali dengan Laia. Hidupnya benar-benar menderita sekali. Aku bahkan tak bisa membayangkan bagaimana kehidupan seorang budak. Apalagi, ditambah dengan berbagai macam siksaan yang diterima, membuatku trenyuh, in someway. Kehidupan Elias pun terkadang juga membuatku tertarik. Intinya, aku masih suka dengan gaya bercerita dari Sabaa Tahir.  Bahkan, aku jadi penasaran banget A Torch against the Night. Eugh, sungguh pun aku jadi penasaran. Aku penasaran dengan bagaimana Keenan nantinya. Hoho.

Pada intinya, An Ember in the Ashes ini mempunyai sisi yang aku sukai. Regarding the weakness of it, aku masih mau mengikuti An Ember in the Ashes. 

Sincerely,

Puji P. Rahayu