Book Review: Down and Out in Paris and London (Terpuruk dan Melarat di Paris dan London) - George Orwell

Image: Goodreads, edited by me

Judul: Terpuruk dan Melarat di Paris dan London
Judul asli: Down and Out in Paris and London
Penulis: George Orwell
Penerjemah: Djokolelono
Tebal buku: 288 halaman
Tahun terbit: 2021
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Baca di Gramedia Digital

Sebelum menjadi pengarang terkenal lewat buku Animal Farm dan 1984, George Orwell pernah hidup miskin di dua kota besar—Paris dan London. Di Paris, dia menjadi tukang cuci piring, dan di London, sambil mencari pekerjaan, dia banyak bergaul dengan gelandangan dan orang-orang jalanan, dan tinggal di rumah-rumah penampungan. Dengan narasi yang jujur dan seringkali humoris, buku semi autobiografi ini mengisahkan kehidupan Orwell pada masa-masa sulit sebagai orang melarat dan berbagai masalah yang mesti dihadapinya.

Down and Out in Paris and London adalah rekomendasi buku dari Kak Bree untuk 12 challenge yang aku buat di awal tahun. Berhubung aku yakin pembahasan dari DOPL akan serius, sama seperti novel Orwell lainnya, maka aku memutuskan untuk pelan-pelan membacanya di awal tahun ini. Untungnya, buku ini tersedia di Gramedia Digital. Jadi, mudah banget untuk mengaksesnya.

Tokoh Aku dan Kemiskinan

Sebetulnya, aku agak ragu ketika mau membaca DOPL Beberapa tahun lalu, aku mencoba untuk membaca 1984, dan gagal. Aku belum sempat menyelesaikannya. Satu-satunya novel Orwell yang bisa kuselesaikan adalah Animal Farm. Novel alegori politik ini terasa lebih mudah diikuti dibandingkan 1984. Alhasil, aku mencoba membaca DOPL dengan harapan bisa mendapatkan experience yang mirip saat aku membaca Animal Farm.

Akhirnya? Yaa, enggak selancar itu juga sih, bacanya. Tapi, seenggaknya bisa selesai juga meski butuh waktu 1.5 bulan. 

Pada dasarnya, DOPL adalah kisah autobiografi dari Orwell. Tokoh 'aku' adalah Orwell sendiri. Berhubung tidak terlalu banyak kisah autobiografi yang kubaca, ku rasa Orwell mampu menyajikan kisah yang unik melalui DOPL. Kisah yang ia sampaikan tidak terlalu kaku dan memiliki alur cerita yang mengalir.

Sesuai dengan judulnya, maka DOPL berisikan kisah 'aku' saat menghadapi kemiskinan, baik di Paris dan London. 'Aku' adalah seorang berkebangsaan Inggris, yang aku lupa kenapa, terdampar di Paris. Saat berada di Paris, 'aku' tinggal di hotel yang otomatis membuatnya harus membayar sewa setiap seminggu sekali. Sayangnya, ia tidak memiliki pekerjaan. Maka dari itu, perjalanan tokoh 'aku' untuk bertahan hidup, dalam arti mencari uang untuk makan dan sewa tempat tinggal dimulai.

Kalau aku boleh meringkas kehidupan tokoh 'aku' di Paris adalah dengan mencari pekerjaan dengan berjalan kaki berkilo-kilo, menggadaikan pakaian saat sudah tak punya lagi uang untuk membeli roti, dan mendapatkan pekerjaan di restoran sebagai plongeur--yang sesungguhnya sangat menyiksa.

Ketika tokoh 'aku' memutuskan untuk kembali ke Inggris, karena ia merasa hidupnya di Paris hanya dihabiskan untuk bekerja non stop dan istirahat berarti hanyalah tidur. Selain itu, tokoh 'aku' juga dijanjikan pekerjaan yang cukup mapan di London. Bukan sebagai plongeur yang menguras jiwa dan tenaga. 

Sesampainya di London, B, kawan 'aku' yang menjanjikan pekerjaan berkata bahwa 'aku' baru bisa memulai pekerjaannya bulan depan. Otomatis, tokoh 'aku', yang juga masih miskin dan melarat, memulai kehidupannya untuk mencari rumah singgah setiap malam untuk bermalam. Pekerjaan? Tidak ada pekerjaan tetap yang bisa ia lakukan. Alhasil, kehdiupan tokoh 'aku', sama menyedihkannya saat ia tinggal di Paris.

Ketika Kemiskinan Tak Terhindarkan

Aku lupa tepatnya, yang pasti tokoh 'aku' di sini mengajak kita untuk memahami bahwa kemiskinan yang terjadi bisa saja bukan karena kita tidak bekerja keras. Ketika kemiskinan merupakan bagian dari struktur yang lebih besar, sekeras apapun seseorang bekerja, ia tak akan mudah lepas dari kemiskinan. Layaknya lingkaran setan, mau banting tulang 12-15 jam sehari, mencari-cari sumber penghasilan lain, ataupun upaya lainnya, tak akan menolong. Kemiskinan bisa begitu menghantui.

Ada banyak hal yang baru kupahami melalui kisah Orwell ini. Mulai dari pekerjaan di hotel yang punya banyak sekali tingkatan, hingga konsep rumah singgah yang ada di London. To some extent, aku jadi penasaran apakah konsep rumah singgah ini masih ada sampai sekarang? Kalau aku coba searching singkat sih, sepertinya memang masih ada.

Untuk cerita di balik restoran, aku tidak tahu seberapa parah sebetulnya, atau apakah keadaan yang demikian masih ada sampai sekarang. Akan tetapi, bagian itu membuatku memahami betapa tingkatan kelas pekerja terasa begitu nyata.

Ahh, mungkin itu juga ciri khas dari Orwell. Ia selalu menyisipkan konsepsi kelas dalam karya-karyanya. Animal Farm secara jelas menggambarkan kelas-kelas di peternakan binatang, dan di DOPL, Orwell juga menggambarkan hal yang serupa. 

Orwell dan caranya berkisah

Salah satu strong point dari cara Orwell berkisah adalah saat ia menggambarkan apa yang ia amati di sekitarnya. Orwell mampu menggambarkan dengan begitu detail dan seolah mengajak pembaca untuk benar-benar ikut mengamati. Kisah kehidupan sehari-hari telah ia gambarkan dengan runut. Kisahnya saat bekerja di restoran, mencari rumah singgah di London, atau upayanya saat mencari pekerjaan di Paris terasa begitu nyata.

Oh, iya, meskipun aku membaca versi terjemahannya, aku merasa detail-detail tersebut bisa tersampaikan dengan baik. So, kudos to Djokolelono yang menerjemahkan novel ini dengan apik.

Meskipun novel ini tidaklah semudah aku mencerna Animal Farm, DOPL menjadi kisah unik yang layak dibaca, Sebuah autobiografi yang luwes dan menarik untuk diselami lebih lanjut.

Kesimpulan

Kalau kamu mencari kisah autobiografi yang unik dan tidak kaku, maka DOPL bisa menjadi jawaban.

4 out of 5 stars.

Sincerely,
Ra

Be First to Post Comment !
Post a Comment